-Rants: Silence Chp.- "DIAM"
Kadang heran dengan orang yang sejenak saja tak bisa diam.
Diam dalam artian mengheningkan cipta seraya memahami sesuatu dengan mendengarkan.
Diam dalam konteks penuh perhatian dan pergolakan diri untuk bisa membuka mata, terhadap orang lain, dengan diam.
Diam bukan berarti kekalahan. Diam bukan berarti tanpa perlawanan. Diam bukan berarti berhenti.
Bagaikan terombang-ambing dalam sebuah pertempuran yang tiada henti terus menggerus lahiriah yang seakan tak pernah letih, mengapa kau tak terpikir untuk sebentar berhenti dan menepi, untuk menghirup udara segar? Untuk sejenak berpikir, lebih luas. Tentang dunia-- dunia orang lain, dan makna.
Sedikit kisah yang mungkin ditulis agak panjang. Ya ini kalimat kontradiksi, namun benar adanya.
Secuil pemikiran hidupku dari segudang pemikiran yang tiada pernah henti bermain-main menggerayangi tiap seluk neuron dalam otakku.
Aku hanyalah satu dari sekian miliar atau bahkan triliunan orang yang tercipta oleh Maha Pencipta. Kisahku tak banyak, dan tentunya tak menginspirasi seperti orang-orang besar lainnya. Namun aku tau, setidaknya ketika membaca sekelumit pemikiran ini, ada sesuatu yang berubah, ada seseorang yang berusaha semakin dewasa untuk menyelami lebih jauh tentang manusia...dan kehidupan. Setidaknya, itu jika itu bukan kamu, maka itu adalah aku.
Aku adalah orang yang constantly berpikir. Manusia mana yang tidak terus menerus pikirannya berkecamuk dengan serentetan thoughts memang? Namun, aku berpikir, terlalu banyak berpikir.
Selintas hal ini sepele, tapi itu mempengaruhi gaya berteman ku.
Aku seringkali menjadi acuh dan ignorant terhadap dunia dan lingkungan sekitar ku meskipun dalam kerumunan orang yang aku kenal. Mengapa? Ya karena aku sibuk berpikir. Terlalu banyak kata yang tak bisa terkonversi menjadi aksi berbicara kadang, sehingga aku lelah, dan hanya menjadi penikmat dalam komunitas. Mendengarkan orang berbicara, melihat tingkahlaku mereka, merasakan aura mereka dalam kerumunan. Aku memaksimalkan inderaku untuk bisa mengobservasi mereka meskipun dari permukaan, aku terlihat acuh bahkan kadang kala menampakkan tampang RBF. Bukan tanpa sebab, hanya saja itu otomatis. Aku sedang sibuk berpikir: mengolah pembicaraan kalian. Aku bersukur kemudian aku kerapkali melupakan hal-hal yang aku tangkap dalam memori. Tidak memenuhi memori dalam otakku, begitulah pikirku.
Akan tetapi, akhir-akhir ini, kenyataan yang menghempas ku. Realita lah yang kini membuatku menggali-gali ingatan ku ketika aku "hanya" mengobservasi orang. Fakta yang membuatku takjub, namun miris.
Aku menjumpai seseorang yang...katakanlah, bagiku tidak bisa mendengar. Sekali lagi, bagiku ia tidak bisa mendengar. Bukan tunawicara dan tunarungu. Maksudku, ia tidak bisa mendengarkan orang lain. Singkat kata, ia tidak bisa diam.
Aku tau, aku bukanlah orang yang bisa seketika diam saat di konfrontasi. Aku adalah orang frontal yang akan kukuh menyuarakan opiniku jika bertentangan dengan orang lain, menikmati saat diskusi, menemukan secercah pemikiran-pemikiran baru dari lintas percakapan, dan terkadang masih tetap teguh memegang opiniku. Ya aku orang yang dasarnya seperti itu. Tapi aku tau, kapan aku harus diam. Aku tau kapan aku harus diam untuk mendengarkan dan menghargai orang lain, dan aku tau kapan aku harus diam, menghindar, dan tak lagi kembali karena tak ada yang bisa diperjuangkan.
Terdengar dramatis? Tidak. Ini bukan drama. Bukan pula tentang cinta.
Ini hanya..sedikit, tentang makna kehidupan yang sangat esensial bagiku.
Kembali lagi, "diam".
Orang tersebut susah sekali, atau bahkan bagiku, tidak bisa untuk diam.
Kamu tau? Bahkan ketika orang lain selesai bercerita, ia akan menjawabnya.
Ya, tidak ada yang salah dari menjawab sebenarnya. Namun, itu tergantung konteks.
Hey, kamu (pembaca, jika ada yang membaca).
Pernahkah kamu bercerita ttg kegagalanmu? Mungkin, jawaban orang lain bisa berupa penyemangat atau moral support dari orang yang kau ajak bicara. It's therapeutic.
Pernahkah kamu bercerita ttg aibmu? Mungkin, kamu ingin agar orang lain tidak mengulang hal yang sama, atau terhibur karena pengalamanmu, atau sekedar sharing dan berdiskusi. Respon orang lain mungkin ttg pendapatnya atau tertawa karenanya.
Pernahkah kamu bercerita ttg momen spesial atau bahagiamu? Mungkin orang lain akan dengan senang hati mendengarkannya dan kalian bisa mendiskusikan momen bahagia masing-masing atau bahkan memikirkan wacana momen bahagia lain yang kalian inginkan.
Pernahkah kamu bercerita ttg keluhkesahmu dan usahamu? Dimana kau mengumbar untaian kata demi kata untuk menyampaikan seberapa lelah, seberapa warriornya dirimu hingga akhirnya mengeluh. Segala daya upaya yang kamu lakukan untuk sesuatu hal, kamu bercerita ttg ambang keruntuhanmu, kamu bercerita ttg dunia-yang-kamu-perjuangkan-tetapi-tak-lagi-ada-seperti-sediakala bagimu kepada orang lain. Pernah? Jika pernah, apa respon orang lain terhadapmu?
Sejauh aku bercerita tentang usaha ku, tidak semua orang memberikan respon yang sama. Ya karena memang makna usaha bagi tiap orang berbeda dan level dimana sesuatu dianggap sebuah usaha pun berbeda. Aku bisa paham hal ini. Tetapi jika dirimu telah berusaha semaksimal mungkin dan sedang tersesat pada titik dimana hanya keluhkesah yang tersisa apa yang akan orang lain lakukan?
Orang yang aku jumpai..orang yang aku jumpai tidak bisa diam. Ia terus berceloteh, kawan. Bahkan meski saat usaha&keluhkesah sampai di penghujung titik krusial. Nahasnya, lebih jauh ia bahkan pernah menjatuhkan dan melantunkan kalimat-kalimat yang seakan seperti sebuah genderang perang. Tidak kah kamu pernah lelah? Bisakah kau diam?
Disaat seperti aku, aku berkaca pada banyak pengalaman, tidak hanya pengalamanku namun juga orang lain. Saat keluhkesah seorang pejuang kehidupan terlontar, aku menemukan begitu banyak orang yang berusaha memberikan moral support, bukan dengan menjatuhkan. Don't you know? Ketika seseorang bercerita mengenai ambang terendahnya, ia hanya butuh untuk beristirahat sejenak, bersandar ditempat yang tepat, dan mengembalikan energi kehidupan yang sementara sirna dari pandangannya. Terkadang ia hanya membutuhkan untuk dihargai dengan cara didukung, atau dihargai dengan cara yang paling simpel tetapi mahal harganya, yaitu hargailah dengan diam.
Awalnya, aku berpikir aku yang bodoh. Ya dulunya aku berpikir begitu bodohnya aku. Aku yang tak mampu memberikan solusi ataupun dukungan dan visi misi lebih baik untuk orang yang datang berkeluhkesah padaku. Aku yang saat itu hanya diam dan menjadi pendengarnya. Awalnya (aku pikir) aku sangat bodoh.
Akan tetapi, aku sadar, makin kesini, makin banyak pengalaman, makin banyak lingkup pertemanan, asam garamnya kehidupan, makin banyak berbicara maupun mendengarkan, diam itu vital.
Mungkin hal itu terdengar klise.
Tapi dengan kerapkali aku berusaha menjadi pendengar, aku bisa tau lebih banyak. Setidaknya, aku bisa mengerti lebih banyak.
Hal ini aku dapatkan bukan dari menempa ilmu psikologi dalam program S1 yang sudah aku tempuh. Tidak. Hal ini sejak jauh-jauh hari terus menggeluti pikiranku yang tiada henti berlari.
Dan kini, diam ku ter-trigger untuk menyuarakan "diam"nya.
Tidakkah kau coba ingin telisik, pernahkah kau diam untuk mengerti orang lain? Benar-benar diam.
Diam dalam artian mengheningkan cipta seraya memahami sesuatu dengan mendengarkan.
Diam dalam konteks penuh perhatian dan pergolakan diri untuk bisa membuka mata, terhadap orang lain, dengan diam.
Diam bukan berarti kekalahan. Diam bukan berarti tanpa perlawanan. Diam bukan berarti berhenti.
Bagaikan terombang-ambing dalam sebuah pertempuran yang tiada henti terus menggerus lahiriah yang seakan tak pernah letih, mengapa kau tak terpikir untuk sebentar berhenti dan menepi, untuk menghirup udara segar? Untuk sejenak berpikir, lebih luas. Tentang dunia-- dunia orang lain, dan makna.
Taukah kau?
Pernahkah kau diam membisu benar-benar tak mampu mengolah rasa menjadi kata dan terhempas hanya menjadi asa?
Pernah?
Lalu apa yang kau rasa? Hampa, murung, sunyi, haru, sedih, atau lega kah atas semua itu?
Atau mungkin kau tak pernah merasakannya? Atau bahkan memikirkan untuk diam saja kau tak mampu?
Itukah yang selalu kau lakukan? Berbicara?
Sedikit kisah yang mungkin ditulis agak panjang. Ya ini kalimat kontradiksi, namun benar adanya.
Secuil pemikiran hidupku dari segudang pemikiran yang tiada pernah henti bermain-main menggerayangi tiap seluk neuron dalam otakku.
Aku hanyalah satu dari sekian miliar atau bahkan triliunan orang yang tercipta oleh Maha Pencipta. Kisahku tak banyak, dan tentunya tak menginspirasi seperti orang-orang besar lainnya. Namun aku tau, setidaknya ketika membaca sekelumit pemikiran ini, ada sesuatu yang berubah, ada seseorang yang berusaha semakin dewasa untuk menyelami lebih jauh tentang manusia...dan kehidupan. Setidaknya, itu jika itu bukan kamu, maka itu adalah aku.
Aku adalah orang yang constantly berpikir. Manusia mana yang tidak terus menerus pikirannya berkecamuk dengan serentetan thoughts memang? Namun, aku berpikir, terlalu banyak berpikir.
Selintas hal ini sepele, tapi itu mempengaruhi gaya berteman ku.
Aku seringkali menjadi acuh dan ignorant terhadap dunia dan lingkungan sekitar ku meskipun dalam kerumunan orang yang aku kenal. Mengapa? Ya karena aku sibuk berpikir. Terlalu banyak kata yang tak bisa terkonversi menjadi aksi berbicara kadang, sehingga aku lelah, dan hanya menjadi penikmat dalam komunitas. Mendengarkan orang berbicara, melihat tingkahlaku mereka, merasakan aura mereka dalam kerumunan. Aku memaksimalkan inderaku untuk bisa mengobservasi mereka meskipun dari permukaan, aku terlihat acuh bahkan kadang kala menampakkan tampang RBF. Bukan tanpa sebab, hanya saja itu otomatis. Aku sedang sibuk berpikir: mengolah pembicaraan kalian. Aku bersukur kemudian aku kerapkali melupakan hal-hal yang aku tangkap dalam memori. Tidak memenuhi memori dalam otakku, begitulah pikirku.
Akan tetapi, akhir-akhir ini, kenyataan yang menghempas ku. Realita lah yang kini membuatku menggali-gali ingatan ku ketika aku "hanya" mengobservasi orang. Fakta yang membuatku takjub, namun miris.
Aku menjumpai seseorang yang...katakanlah, bagiku tidak bisa mendengar. Sekali lagi, bagiku ia tidak bisa mendengar. Bukan tunawicara dan tunarungu. Maksudku, ia tidak bisa mendengarkan orang lain. Singkat kata, ia tidak bisa diam.
Aku tau, aku bukanlah orang yang bisa seketika diam saat di konfrontasi. Aku adalah orang frontal yang akan kukuh menyuarakan opiniku jika bertentangan dengan orang lain, menikmati saat diskusi, menemukan secercah pemikiran-pemikiran baru dari lintas percakapan, dan terkadang masih tetap teguh memegang opiniku. Ya aku orang yang dasarnya seperti itu. Tapi aku tau, kapan aku harus diam. Aku tau kapan aku harus diam untuk mendengarkan dan menghargai orang lain, dan aku tau kapan aku harus diam, menghindar, dan tak lagi kembali karena tak ada yang bisa diperjuangkan.
Terdengar dramatis? Tidak. Ini bukan drama. Bukan pula tentang cinta.
Ini hanya..sedikit, tentang makna kehidupan yang sangat esensial bagiku.
Kembali lagi, "diam".
Orang tersebut susah sekali, atau bahkan bagiku, tidak bisa untuk diam.
Kamu tau? Bahkan ketika orang lain selesai bercerita, ia akan menjawabnya.
Ya, tidak ada yang salah dari menjawab sebenarnya. Namun, itu tergantung konteks.
Hey, kamu (pembaca, jika ada yang membaca).
Pernahkah kamu bercerita ttg kegagalanmu? Mungkin, jawaban orang lain bisa berupa penyemangat atau moral support dari orang yang kau ajak bicara. It's therapeutic.
Pernahkah kamu bercerita ttg aibmu? Mungkin, kamu ingin agar orang lain tidak mengulang hal yang sama, atau terhibur karena pengalamanmu, atau sekedar sharing dan berdiskusi. Respon orang lain mungkin ttg pendapatnya atau tertawa karenanya.
Pernahkah kamu bercerita ttg momen spesial atau bahagiamu? Mungkin orang lain akan dengan senang hati mendengarkannya dan kalian bisa mendiskusikan momen bahagia masing-masing atau bahkan memikirkan wacana momen bahagia lain yang kalian inginkan.
Pernahkah kamu bercerita ttg keluhkesahmu dan usahamu? Dimana kau mengumbar untaian kata demi kata untuk menyampaikan seberapa lelah, seberapa warriornya dirimu hingga akhirnya mengeluh. Segala daya upaya yang kamu lakukan untuk sesuatu hal, kamu bercerita ttg ambang keruntuhanmu, kamu bercerita ttg dunia-yang-kamu-perjuangkan-tetapi-tak-lagi-ada-seperti-sediakala bagimu kepada orang lain. Pernah? Jika pernah, apa respon orang lain terhadapmu?
Sejauh aku bercerita tentang usaha ku, tidak semua orang memberikan respon yang sama. Ya karena memang makna usaha bagi tiap orang berbeda dan level dimana sesuatu dianggap sebuah usaha pun berbeda. Aku bisa paham hal ini. Tetapi jika dirimu telah berusaha semaksimal mungkin dan sedang tersesat pada titik dimana hanya keluhkesah yang tersisa apa yang akan orang lain lakukan?
Orang yang aku jumpai..orang yang aku jumpai tidak bisa diam. Ia terus berceloteh, kawan. Bahkan meski saat usaha&keluhkesah sampai di penghujung titik krusial. Nahasnya, lebih jauh ia bahkan pernah menjatuhkan dan melantunkan kalimat-kalimat yang seakan seperti sebuah genderang perang. Tidak kah kamu pernah lelah? Bisakah kau diam?
Disaat seperti aku, aku berkaca pada banyak pengalaman, tidak hanya pengalamanku namun juga orang lain. Saat keluhkesah seorang pejuang kehidupan terlontar, aku menemukan begitu banyak orang yang berusaha memberikan moral support, bukan dengan menjatuhkan. Don't you know? Ketika seseorang bercerita mengenai ambang terendahnya, ia hanya butuh untuk beristirahat sejenak, bersandar ditempat yang tepat, dan mengembalikan energi kehidupan yang sementara sirna dari pandangannya. Terkadang ia hanya membutuhkan untuk dihargai dengan cara didukung, atau dihargai dengan cara yang paling simpel tetapi mahal harganya, yaitu hargailah dengan diam.
Awalnya, aku berpikir aku yang bodoh. Ya dulunya aku berpikir begitu bodohnya aku. Aku yang tak mampu memberikan solusi ataupun dukungan dan visi misi lebih baik untuk orang yang datang berkeluhkesah padaku. Aku yang saat itu hanya diam dan menjadi pendengarnya. Awalnya (aku pikir) aku sangat bodoh.
Akan tetapi, aku sadar, makin kesini, makin banyak pengalaman, makin banyak lingkup pertemanan, asam garamnya kehidupan, makin banyak berbicara maupun mendengarkan, diam itu vital.
Dalam diamlah kamu bisa mengerti banyak hal.
Kau bisa bertapa untuk menemukan banyak arti.
Dunia bisa kau rangkul seketika bukan dengan mimpi.
Diam.
Karena disaat itulah, saat kamu diam untuk mendengarkan kamu bisa mengerti arti pandangan orang lain, menghargai usahanya, membantunya dengan dukungan moral (untuk selalu ada sbg pendengar). In fact, you are sinking into others realm. You live as them.
Mungkin hal itu terdengar klise.
Tapi dengan kerapkali aku berusaha menjadi pendengar, aku bisa tau lebih banyak. Setidaknya, aku bisa mengerti lebih banyak.
Hal ini aku dapatkan bukan dari menempa ilmu psikologi dalam program S1 yang sudah aku tempuh. Tidak. Hal ini sejak jauh-jauh hari terus menggeluti pikiranku yang tiada henti berlari.
Dan kini, diam ku ter-trigger untuk menyuarakan "diam"nya.
Tidakkah kau coba ingin telisik, pernahkah kau diam untuk mengerti orang lain? Benar-benar diam.
Tulisanmu bagus..kamu golongan orang brilliant, isi curhatanmu memberi manfaat utk org lain. Bahasa tulisanmu jg okee, mmg perpaduan org yg bljr psikologi dan sastra, mantab. Harapanku dgn mengisi kolom komentar ini, kamu tak berhenti menulis.
BalasHapusSoal bahasanmu DIAM aku setuju, bahkan dgn membaca tulisanmu ini, semacam reminder utkku. Terima kasih
terimakasih mbak gita sdh meluangkan waktu membaca bahkan memberikan respon hehe insyaallah klo ad insight lainnya dr pandanganku ttg problematika kehidupan nantinya akan berusaha ak share sbg sarana bagiku sendiri dlm menorehkan cerita dan sarana org lain sbg topik diskusi..
Hapussekali lagi terimakasih respon dan dukungannyaa