-RANTS: OOT - Dilema Ketidakikhlasan yang Berbuah suatu Tujuan-

Lagi lagi. RANTS. Lagi banyak rants, dan sebagian menumpuk. Kali ini tertuang, tentang tukang parkir.

Pernah kan ya ngrasa enggan bayar parkir yg kian hari tarifnya makin melunjak?
Di era sekarang, tempat tinggal saya, untuk motor dikenakan 2rb sekali ngetem. PFFFTT.
Seringkali keengganan terjadi karena tukang parkir kurang berdedikasi melaksanakan kewajibannya ataupun urusan kita yg remehtemeh-sepele seakan tidak rela menggelontorkan 2rb secara percuma.

Saya pun begitu, pada awalnya...di pagi hari ini. Pada pagi ini, dengan maksud menarik uang di ATM sebuah minimarket yang menjamur bak pertumbuhan manusia yang lepas kontrol, saya merasa amat enggan bayar parkir.
"Duh, saya narik uang buat modal kerja, dan masih banyak tanggungan sebagai mahasiswi yang berusaha bayar ini-itu mandiri," sekilas terbersit.

Well, kala saya mau mengambil uang tersebut, pagi sih sebenarnya bagi saya, tapi nyatanya waktu itu sudah menunjukkan jam 8. So pasti ada parkir sudah jam segini. Benakku berkelana dan mulai dengan lincahnya mengingat minimarket mana yang gaada tukang parkir. Nahas, neuron di otak mager bergerak untuk memutar rekam jejak memori ini. Alhasil, saya pun pasrah berhenti di minimarket yang ada tulisan ATM-nya dengan perasaan masih berkecamuk rasa berat hati jika nanti membayar parkir.
Jika bagi Anda saya medit, tak mengapa. Saya memang lagi defisit dan saya tidak memaksa Anda untuk berpikiran baik tentang kepelitan saya kali ini.


Alangkah terkejutnya saya mendapati pelajaran kehidupan hari ini, dengan topik "tukang parkir".
Kenyataan berbanding terbalik dimana di akhir cerita saya sempat meneteskan air mata ketika sudah memacu laju motor seusai menarik uang di ATM dan membayarkan parkir. Sepersekian alasan hal tersebut terjadi karena saya teringat kejadian personal, dan sebagian besar lagi, karena "Sang Bapak Tukang Parkir".



Tukang parkir minimarket tersebut adalah seorang Bapak, hampir kakek-kakek dengan pakaian seadanya tanpa atribut terkecuali tas kecil di pinggang ala tukang parkir yang menandakan bahwa ia tukang parkir. Bapak tersebut tidaklah berbadan tegap ataupun agak tambun seperti beberapa tukang parkir kebanyakan di minimarket sekitaran sini yang usianya masih remaja sampai om-om. Dia benar-benar bapak-bapak, yang saya yakini telah mempunyai cucu, atau anak yang sudah besar.

Miris rasanya saat melihat 2 atau 3 pengendara sebelum saya beranjak pergi tanpa membayar.
Ya memang, mereka tidak bisa disalahkan begitu saja, pikirku. Bapak tersebut tidak mendekati pengendara untuk meminta bayaran atas jasanya. Bapak tersebut memantau motor-motor yang di parkir dengan seksama tanpa mengiba meskipun dengan tatapan sayunya yang menyayat hati.

That's how it cracks my heart. I dont even know where it exactly hurts anyway.
Saya yakin Bapak itu membutuhkan uang untuk hidup. Dia tentunya membutuhkan uang tidak sebanyak kita-kita yang merupakan orang mampu. Mungkin untuk makanpun Bapak itu susah mendapatkannya. Berbeda dengan kita yang tidak hanya memikirkan makan saja, uang pulsa lah, uang kuota lah, uang hangout lah, uang shopping lah, uang kuliah lah, dll.
Ditelaah dari gerak tubuhnya, memang demikianlah Bapak tersebut menjaga motor-motor yang terparkir. Duduk dan mengawasinya, namun tidak memaksa pengendara membayar jasanya.
Saya berasumsi dengan sungguh bahwasanya hanya dengan cara demikian maka ia tidak akan mendapatkan keuntungan sebagaimana tukang parkir lainnya dapatkan. Tidak. Tentu tidak. Ia duduk, memantau motor kami, dan seakan tidak ingin mengusik pengendara yang enggan berbagi rezeki dengannya, ia hanya duduk di sudut parkiran itu.

I, then, begin to recall memories; when I was hoping to own a social institution for those people; when I was hoping I'm rich enough to get the rest of my money be useful for them to live their lives; when I was hoping I'm capable to set up for my own animal welfare group which my concern is not only for human race but also animals.
And as I went with the morning breeze, still with the aching heart and a bit of swollen face, I realize. Now, that's not what I'm hoping for. Instead, I hope that by my obstacles so far, I can be successful enough to not live in a dream like that, but be able to actualize it in reality. I wish that what I'm doing now, what I hold up, what I trust for, what I'm fighting for, will come to the finish line where all of those dreams aren't imaginary anymore.
And if it's not, if it's really not live up to my expectation, let my heart be that weak to sense their suffering so I won't be someone who thinks that "the grass is always greener on the other side of the fence". Let my heart feels their efforts to live so I can survive more and more even in a crash of dilemmatic problems of my life.
That I can be able to bow my head and pride down. To be able to feel blessed and intact with perseverance.
Terimakasih, Bapak tukang parkir yang dengan kesabaran dan caranya tersebut itulah, visi saya berubah untuk hal yang lebih baik (setidaknya menurut saya). Semoga banyak orang yang terketuk pintu hatinya dengan jasa yang Bapak berikan tersebut agar memudahkan mengalirnya rezeki yang diridhoi oleh Tuhan YME pada beliau. Semoga Bapak tersebut diberikan kesehatan dan kesejahteraan untuk keluarganya. Semoga ia dan senyum tulusnya kepada pengendara seperti saya ini dijaga oleh Tuhan YME.
You're one of the listed MVPs in my life, Pak. God bless you

Komentar

Posting Komentar