Corporate Greening (Meng-hijau-kan Perusahaan)

Kerusakan lingkungan karena pertumbuhan industri yang tak terelakkan di era modern ini merupakan bahasan yang tak berujung. Sejauh ini telah diupayakan berbagai macam upaya baik pemerintah maupun komunitas masyarakat yang peduli lingkungan untuk menyebarkan informasi mengenai betapa daruratnya masalah lingkungan demi kehidupan masa mendatang. Hal tersebut tidak terkecuali dengan para ahli-ahli yang melakukan penelitian terkait lingkungan dan pertumbuhan industri, dalam hal ini pelaku industri, seperti perusahaan yang berkaitan dengan penghijauan, yaitu menghijaukan perusahaan (corporate greening).



     Dunia industri sering menjadi tertuduh utama dalam masalah kerusakan lingkungan, karena “kerakusannya” dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Tetapi industrilah yang menjadikan peradaban manusia maju dengan pesat. Tak dapat dipungkiri bahwa kemampuan dalam menguasai industri menjadi parameter kualitas kehidupan manusia. Masalahnya adalah bagaimana mengelola jalan simpang di antara dua kepentingan: kepentingan industri dan kelestarian lingkungan

     Tekanan dari stakeholders yang tumbuh dari kesadaran terhadap kelestarian lingkungan telah merasuk ke dalam dunia korporasi dan praktik-praktik manajemen. Misalnya institusionalisasi yang dituangkan dalam ISO 14000. Konsep produksi juga telah mengalami kemajuan dari konsep cradle to grave menjadi daur ulang. Cradle to cradle seperti yang diterapkan oleh Xerox. Berarti industri tidak hanya mengamankan agar sampah atau limbah tidak mencemari lingkungan, tetapi juga berusaha agar sampah atau limbahnya dapat didaur ulang.


     Menjadi “hijau” bukan hanya mengubah proses dan produk, yang hanya berkutat di proses internal pabrik belaka. Menjadi hijau juga mempedulikan ke-“hijauan”-nya mulai dari bahan baku yang digunakan dan kualitas perusahaan pemasok dipandang dari kacamata sadar lingkungan, seperti yang tertuang dalam standarisasi ISO 14000. Perusahaan juga harus bertanggung jawab atas aktivitas-aktivitas untuk meminimalkan dampak negatif dari sisa produk yang dihasilkan, penanganan limbah maupun “sampah” dari produk yang sudah terpakai, seperti kemasan.

     Namun, semua itu hanya dapat terlaksana secara efektif dan efisien bila didukung sistem manajemen yang baik serta dilandasi oleh budaya perusahaan yang peduli terhadap lingkungan. Dan hal ini dapat dilakukan terutama pada perusahaan-perusahaan besar. Karena itu, salah satu cara untuk menyebarkan ide-ide ‘hijau’ adalah dengan mendorong perusahaan-perusahaan besar agar memaksa para pemasoknya atau subkontraktornya untuk lebih ramah terhadap lingkungan.

     Tekanan masyarakat agar perusahaan lebih peduli kepada lingkungan merupakan kesempatan untuk memperkuat hubungan antara perusahaan dengan konsumen, bahkan dapat dijadikan keunggulan kompetitif. Konsumen yang semakin sadar terhadap isu lingkungan akan mencari produk yang bersahabat dengan lingkungan. Sebagai dampak ikutannya, perusahaan akan mencari pemasok yang bisa memecahkan persoalan-persoalan lingkungan. Hubungan antar perusahaan pun akan berubah, karena sama-sama ditekan untuk menjadi hijau. Maka banyak perusahaan, terutama perusahaan besar, mulai cerewet terhadap perusahaan-perusahaan pemasoknya. Bagi perusahaan-perusahaan besar, reputasi adalah aset terpenting perusahaan.


     Banyak penelitian dilakukan terhadap motivasi untuk meng-‘hijau’-kan perusahaan (corporate greening). Salah satunya dilakukan oleh Monika I. Winn yang mengemukakan tentang tipologi corporate greening dan membaginya menjadi empat jenis: Deliberate Reactive, Unrealized Greening, Emergent Active, dan Deliberate Proactive Greening.
  1. Jenis pertama dapat dikelompokkan menjadi Deliberate Reactive. Perusahaan jenis ini menunjukkan komitmen yang rendah dalam kebijakannya terhadap kelestarian lingkungan, demikian pula dalam pendekatan implementasinya. Ditilik dari filosofi manajemen puncak, pelestarian lingkungan bukan tidak ditempatkan dalam prioritas utamanya. Kepekaan terhadap pelestarian lingkungan lebih didorong oleh upaya-upaya yang bersentuhan dengan biaya dan pendapatan. Pertimbangan investasi terhadap pelestarian lingkungan didorong oleh tekanan eksternal yang spesifik: komunitas sekitarnya, regulasi pemerintah, atau konsumennya.
  2. Kelompok kedua disebut sebagai Unrealized Greening. Perusahaan jenis ini menunjukkan tingkat komitmen yang tinggi dalam kebijakannya terhadap persoalan kelestarian lingkungan, namun memakai pendekatan yang reaktif dalam mengimplementasikannya. Perusahaan tidak mempunyai kebijakan lingkungan yang formal, meskipun dalam komunikasi ke luar mengaku sebagai perusahaan yang memiliki manajemen yang berorientasi pada kelestarian lingkungan. Banyak pandangan manajemen puncaknya terhadap kelestarian lingkungan menjadi NATO, no action talking only. Perusahaan ini menempatkan ‘kepekaan ekonomis’ dan ‘kelayakan pasar’ untuk mengendalikan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan. Jadi tingkat komitmen kebijakan yang tinggi dikombinasikan dengan implementasi secara pasif.
  3. Kelompok berikutnya adalah Emergent Active. Perusahaan ini sebenarnya menunjukkan komitmen yang rendah berkaitan dengan kebijakannya terhadap lingkungan, tetapi mempunyai pendekatan yang bagus dalam implementasinya. Di perusahaan ini manajemen lingkungan dilaksanakan terutama untuk bidang pengurangan limbah, air, energi, penghematan bahan baku, serta proses optimalisasinya. Jadi pendekatannya lebih didorong oleh manfaat terhadap perusahaan ketimbang kesadaran terhadap lingkungan. Apapun motifnya, perusahaan ini telah ‘mengamalkan’ operasi perusahaan yang pro terhadap pelestarian lingkungan.
  4. Terakhir adalah Deliberate Proactive Greening, yang merupakan kelompok perusahaan yang ‘ideal’. Perusahaan menunjukkan tingkat komitmen yang tinggi dalam kebijakan-kebijakan berkaitan dengan lingkungan, sekaligus benar-benar ‘diamalkan’ dalam operasi sehari-hari. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan menunjukkan bahwa perusahaan mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap lingkungan, yang tampak dalam pemanfaatan semua peralatan dan bahan baku dalam pabrik. Hal ini menunjukkan kepekaan terhadap tanggung jawab lingkungan dari manajemen puncak. Kombinasi dari biaya dan tekanan eksternal mendorong ke arah integrasi antara sistem manajemen, perencanaan, dan tindakan-tindakan preventif.


     Jika kita amati, corporate greening ini akan membentuk suatu matriks yang terdiri dari empat kotak, yang diahrapkan pada masa yang akan datang akan mengarah kepada kotak ideal: komitmen yang tinggi dan implementasi yang juga bagus.



(Sumber: Susanto, A. B. 2009. Reputation-Driven Corporate Social Responsibility: Pendekatan Strategic Management dalam CSR. Esensi Erlangga Group. Hal 6-8)
× 『rui@96yR』【butterflyuu】 ×
増原 紀花

Komentar